Pengaruh Perhatian Orang Tua Terhadap
Prestasi Belajar Anak
Perhatian orang tua ternyata memiliki
pengaruh besar terhadap pencapaian prestasi belajar anak atau siswa di
sekolahnya. Hal ini setidaknya pernah di buktikan oleh hasil penelitian di
Amerika yang telah dilakukan oleh banyak pihak. Dan berikut ringkasan dari
hasil-hasil penelitian tersebut yang dikutip dari berbagai sumber.
Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Wendy S. Grolnick dan
rekan-rekan, dalam artikelnya yang dipublikasikan pada tahun 1994 dan
1997, mereka menyampaikan 3 konsep bentuk perhatian orang tua berdasarkan pada
bagaimana interaksi orang tua-anak.
Pertama, perhatian dalam bentuk keterlibatan perilaku orang tua, yang
mengacu pada sikap dan tindakan orangtua yang mewakili kepentingan publik dalam
pendidikan anak mereka, seperti menghadiri open house atau kegiatan sukarela di
sekolah.
Kedua, perhatian dalam bentuk keterlibatan pribadi, yang mencakup cara
interaksi orangtua-anak melalui komunikasi positif tentang pentingnya sekolah
dan pendidikan untuk anak-anak mereka.
Dan ketiga, perhatian dalam bentuk keterlibat kognitif atau intelektual,
yang mengacu pada perilaku yang mendukung pengembangan keterampilan dan
pengetahuan anak-anak, seperti membaca buku dan pergi ke museum.
Menurut teori ini, perhatian orang tua dalam ketiga keterlibatan itu akan
mempengaruhi prestasi siswa karena adanya interaksi yang akan mempengaruhi
motivasi, rasa kompetensi, dan keyakinan anak bahwa mereka memiliki kontrol
atas keberhasilan mereka di sekolah.
Sementara itu, Kathleen V. Hoover-Dempsey dan Howard M. Sandler, dalam
artikel yang dipublikasikan pada tahun 1995 dan 1997, menyampaikan bahwa perhatian
orang tua mencakup bentuk keterlibatan secara luas baik dalam kegiatan anak di
rumah (seperti, membantu menyelesaikan pekerjaan rumah, membahas kegiatan
sekolah atau kursus) dan aktivitas yang berbasis sekolah (misalnya menjadi
relawan di sekolah, datang pada acara/undangan sekolah).
Mereka berpendapat bahwa perhatian orang tua merupakan fungsi orang tua
dalam mengaktualisasikan peran dan tanggung jawabnya, keyakinan orang tua bahwa
ia dapat membantu anak-anaknya untuk berhasil di sekolah, dan keterlibatan pada
setiap kesempatan yang disediakan oleh sekolah atau guru.
Menurut teori ini, perhatian orang tua akan berpengaruh terhadapa
anak-anaknya melalui akuisisi pengetahuan, keterampilan, dan peningkatan rasa
percaya diri dan keyakinan anak-anak bahwa mereka akan berhasil di sekolah.
Kemudian Joyce L. Epstein, dalam sebuah
terbitan artikel tahun 1995 dan bukunya yang diterbitkan tahun 2001 yang
berjudul School, Family, and Community Partnerships, berpendapat
bahwa sekolah, keluarga, dan masyarakat adalah faktor penting sebagai
“lingkungan pengaruh” pada perkembangan anak, dan bahwa perkembangan pendidikan
anak akan meningkat manakala tiga lingkungan itu bekerja sama menuju suatu
tujuan bersama.
Epstein mendorong sekolah untuk menciptakan “tumpang tindih” yang lebih
besar antara sekolah, rumah, dan masyarakat melalui pelaksanaan kegiatan pada
enam jenis keterlibatan : orangtua, komunikasi, relawan, belajar di rumah,
pengambilan keputusan, dan kolaborasi dengan masyarakat. Dengan menerapkan
kegiatan di keenam jenis keterlibatan itu, pendidik dapat membantu meningkatkan
prestasi dan penglaman siswa di sekolah.
Menurut pendapat ini, perhatian orang tua dalam bentuk keterlibatannya
terhadap kegiatan pendidikan anaknya di sekolah salah satunya bisa dilihat dari
karakteristik keluarga. Keluarga pekerja dan keluarga yang melibatkan seorang
ibu bekerja penuh waktu, cenderung kurang memiliki perhatian semestinya
terhadap pendidikan anak-anak mereka. Termasuk juga, orang tua siswa sekolah
dasar cenderung lebih terlibat dalam pendidikan anak-anak mereka daripada orang
tua pada siswa yang lebih tua.
Dari hasil penelitian yang disampaikan oleh ketiga orang tersebut di atas,
walaupun itu bukan di Indonesia, akan tetapi setidaknya bisa menjadi salah satu
acuan dan dasar bagi para orang tua, bahwa bentuk perhatian orang tua terhadap
pendidikan anak dan pencapaian prestasi anak di sekolah adalah sangat besar,
dimana perhatian yang dimaksud tidak hanya terbatas pada penyediaan sarana dan
fasilitas pendidikan yang diperlukan anak semata, melainkan keterlibatan
langsung orang tua di dalam prosesnya. Semoga bermanfaat dan menjadikan anda
orang tua yang lebih peduli lagi terhadap proses pendidikan putra-putri anda di
sekolah.
Menumbuhkan
Motivasi Belajar dalam Diri Anak
Bagi para orang tua motivasi belajar anak
merupakan masalah , semua kita juga ingin mengetahui bagaimana motivasi
ini bisa muncul . Kadang saya membandingkan motivasi belajar saya dulu sewaktu
kecil dengan motivasi belajar anak. Tapi ini tidak bijak ya karena jamannnya
beda, dulu acara TV terbatas hanya waktu malam saja , belum ada game ,
perangkat gadget, internet.
Saat berbicara di hadapan orangtua, masalah
motivasi dalam belajar adalah yang paling banyak ditanyakan. Rendahnya kemauan
belajar pada sebagian besar pelajar saat ini telah membuat banyak orangtua
menjadi cemas dan khawatir.
Sebenarnya motivasi itu apa sih?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, MOTIVASI adalah dorongan yang menyebabkan
seseorang mau melakukan sesuatu untuk mencapai sebuah tujuan. Dengan kata lain,
motivasi belajar baru akan tertanam jika anak-anak mengerti bahwa mereka
belajar untuk sebuah alasan atau tujuan. Masalahnya, alasan atau tujuan yang
akan kita sampaikan juga harus benar. Karena jika salah arah, motivasi belajar
tidak akan bertahan lama sehingga cepat pudar dan luntur.
Berdasarkan pengalaman dan hasil observasi di lapangan, banyak
orangtua yang memaksa anaknya belajar agar mendapatkan nilai bagus saat
menghadapi ulangan. Ada juga orangtua yang hanya ingin anaknya selalu mendapat
nilai sempurna (10) sehingga ketika pulang membawa nilai 9 saja sudah dimarahi.
Akibatnya, prestasi belajar anak tidak akan bertahan lama. Mengapa? Karena saat
masih kecil, anak sangat membutuhkan rasa aman. Dan, hal ini hanya akan timbul
jika anak mendapatkan cinta kasih yang tulus dan tanpa pamrih dari orangtuanya.
Bayangkan, apa yang akan terjadi jika anak dimarahi karena tidak
bisa memenuhi standar yang ditetapkan oleh orangtuanya? Perlahan tapi pasti
motivasi yang sudah ada akan mulai terkikis. Anak akan kehilangan rasa aman
karena merasa tidak mungkin dapat menyenangkan hati orangtuanya jika tidak
mendapat nilai bagus di sekolah. Saat rasa aman hilang, dorongan untuk
berprestasi pun mulai mendapat tekanan berat. Akhirnya, saat tingkatan kelas
semakin tinggi dan pelajaran menjadi lebih berat dan sulit, anak sudah
kehilangan gairah belajar. Jadi, segala sesuatu yang dipaksakan tidak akan
pernah bertahan lama.
Hal lain yang penting kita tanamkan dalam diri anak adalah
mengenai proses belajar. Belajar adalah sebuah usaha untuk mendapatkan
kepandaian atau ilmu. Karenanya, perlu dilakukan terus-menerus agar anak tumbuh
menjadi pembelajar seumur hidup atau life-long learner. Jangan
sampai anak berpikir bahwa aktivitas belajar hanya dilakukan saat masih duduk
di bangku sekolah saja. Sehingga, ketika sekolah selesai, proses belajar juga
usai.
Kini, bagaimana kita bisa menumbuhkan motivasi dalam diri anak
agar mau belajar untuk dirinya sendiri? Ada tiga hal utama yang harus terpatri
dulu dalam pikiran dan penalaran kita sebelum masuk pada cara atau teknik
memotivasi anak.
1. Berani Menjadi
Diri Sendiri
I do not try to dance better than
anyone else. I only try to dance better than myself. ~ Mikhail Baryshnikov
Langkah pertama, kita harus meyakinkan setiap anak bahwa mereka
itu unik. Artinya, tidak ada yang persis sama di dunia ini bahkan saudara
kembar sekalipun. Jadi, anak harus mengenal dirinya sendiri dulu. Tahu kelebihan
dan kekurangan masing-masing. Cara belajar setiap anak juga berbeda. Sehingga,
orangtua memegang peranan penting dalam menyampaikan pesan ini kepada anak.
Jika anak tahu bahwa mereka tidak dibandingkan dengan orang lain,
maka tidak ada beban psikologis saat diminta untuk berprestasi. Konsekuensinya,
anak akan lebih leluasa menggali dan mengembangkan semua potensi yang ada dalam
diri. Selanjutnya, tanamkan dalam diri anak bahwa mereka mampu dan memiliki
kesempatan untuk terus menjadi lebih baik lagi dari hari ini, asal saja mereka
mau. Jika ada kemauan, pasti ada jalan. Artinya, perbaikan atau peningkatan
yang berkesinambungan perlu dilakukan agar anak bisa mencapai prestasi maksimal
sesuai dengan kemampuan yang ada.
2. Berani Bermimpi
Shoot for the moon. Even if you
miss, you’ll land among the stars. ~ Brian Littrell
Saat anak masih kecil, pernahkan kita bertanya seandainya sudah
besar nanti mau jadi apa. Semakin tinggi cita-cita, semakin kita punya senjata
untuk mendorong mereka. Karena, untuk mencapai impian dibutuhkan usaha dan
kerja keras. Sebagai contoh, jika cita-cita seorang anak adalah ingin menjadi
pilot atau dokter, kita bisa mulai menanamkan hal positif dalam diri mereka.
Tanyakan kepada mereka, “Jika hendak menjadi pilot atau dokter, perlu tidak
mendapat nilai bagus dalam pelajaran Matematika/Biologi/Fisika? Untuk mendapat
nilai bagus, perlu tidak belajar dengan giat dan rajin?” Kunci utamanya adalah
tetapkan impian setinggi mungkin kemudian beri dorongan positif untuk meraih
cita-cita tersebut. Di sini, orangtua harus pandai dan cermat dalam menggali
dan mengarahkan anak dengan pertanyaan-pertanyaan yang membangun.
Bandingkan, jika orangtua beraksi negatif saat mendengar anaknya
kelak ingin menjadi dokter. “Apa, mau jadi dokter? Nilai matematika
kamu saja jeblok, mana mungkin bisa jadi dokter. Jangan pernah bermimpilah!” Bisa kita bayangkan apa yang
akan terjadi jika orangtua terus-menerus menghilangkan harga diri anaknya.
Kepercayaan diri anak tidak akan tumbuh jika sering dicemooh, apalagi oleh
orang yang paling dekat dengannya. Orangtua harus yakin dan percaya bahwa
anaknya bisa. Sebab, biasanya kata-kata orangtua sangat berpengaruh dan bisa
berperan sebagai racun atau obat yang mujarab. Jadi, berhati-hatilah dengan
kata-kata yang akan kita ucapkan sehingga mulailah memupuk pikiran yang positif
dalam diri kita.
Sebagai contoh, waktu putra saya, Eric masih duduk di kelas V SD,
beberapa teman memperingatkan saya bahwa jika anak sudah duduk di bangku SMP,
maka orangtua harus mencarikan guru les pelajaran untuk mereka. Alasannya, kita
sudah tidak bisa lagi mengajarkan pelajaran SMP sehingga anak yang pintar
sekalipun juga banyak yang les.
Saya hanya mengangguk walaupun dalam hati bertanya-tanya, “Apa iya?” Kemudian, saya mencoba untuk melihat ke
belakang. Dulu orangtua saya tidak pernah repot mengurusi saya belajar dan
semuanya oke saja, tuh! Jadi kalau dulu saya bisa belajar sendiri, maka
anak-anak juga harus bisa. Saya lebih suka jika anak memiliki kemampuan belajar
sendiri dan bisa mencari solusi jika menemui masalah. Jadi, bagi saya, les
pelajaran adalah pilihan terakhir jika seorang anak memang tidak mampu
mengikuti pelajaran yang diberikan di sekolah.
Sejak hari itu, saya bertekad dan mulai fokus mengarahkan
anak-anak agar bisa mengembangkan self-learning ability atau kemampuan belajar sendiri.
Benar! Kedua anak saya tidak pernah ikut les pelajaran. Bahkan, sejak mereka
duduk di kelas 1 SMP, saya sudah tidak perlu lagi membimbing dan mengarahkan
mereka belajar.
3. Berani Gagal
Success is not final, failure is
not fatal. It is the courage to continue that counts. ~ Winston Churchill
Sering kali kita memaksa anak belajar karena takut mereka mendapat
nilai jelek. Sehingga, secara tidak langsung, yang kita tanamkan dalam diri
anak adalah “Awas! Jangan pernah gagal, ya!” Padahal, kegagalan itu sangat
berguna dan memang dibutuhkan sebagai cambuk untuk maju. Percayalah, kegagalan
akan membuat anak kita menjadi lebih kuat dan tahan banting. Tentu saja, saya
tidak bermaksud agar anak-anak dibiarkan sampai tidak naik kelas. Orangtua
harus punya perhitungan yang matang. Kalau terus mendapat nilai jelek juga
tidak benar.
Sebagai contoh, ketika masih duduk di IV SD, putri saya, Lisa
pernah mendapat nilai 2 untuk ulangan matematika. Walaupun gundah, saya tetap
berusaha untuk tenang. Saat terpuruk, yang dibutuhkan anak adalah dukungan
orangtuanya, bukan omelan yang terus-menerus. Kemudian, kami mengevaluasi apa
yang menjadi akar masalah. Waktu itu, Lisa memang lemah di pelajaran
Matematika. Jadi, saat nilai ulangan berikutnya naik menjadi 4, dengan senang
hati saya langsung memuji usaha dan kemajuan yang telah dicapai. Ajaib!
Setelahnya, Lisa tidak pernah lagi mendapatkan angka mati untuk ulangan
Matematika. Paling rendah hanya 5 dan itupun hanya sesekali saja.
Menjadi orangtua zaman sekarang tidak bisa lagi dengan hanya
memakai cara-cara lama yang kita dapatkan secara turun-temurun dari orangtua
atau generasi diatas kita. Menjadi orangtua zaman sekarang jauh lebih sulit dan
rumit. Kemajuan zaman dan kecanggihan teknologi di satu sisi memang telah
membuat hidup kita menjadi lebih nyaman dan praktis. Tetapi, dampak negatifnya
juga tidak tanggung-tanggung. Misalnya, anak-anak sekarang lebih suka bermain game di depan komputer daripada membaca
atau bercengkerama bersama keluarga. Sehingga, orangtua sekarang harus lebih
kreatif dan terus mengasah otak agar peka terhadap perkembangan zaman. Jika hal
ini kita lakukan, maka tugas sebagai orangtua pasti akan menjadi lebih mudah
dan ringan.
Ketika anak ‘berkuasa’ atas dirinya sendiri, sadar bahwa dia boleh
memiliki cita-cita setinggi langit, dan tidak menyerah di saat kegagalan datang
menyapa, maka tugas orangtua sebagai mesin pendorong bagi anak akan jauh lebih
mudah.
Ada beberapa teknik yang cukup berhasil saya terapkan kepada Eric
dan Lisa (anak-anak saya) ketika mereka masih kecil, antara lain:
1. Bercerita
Saya sengaja mengajak mereka tidur lebih awal supaya punya waktu
untuk mendongeng atau bercerita sekitar 5-10 menit bagi mereka. Setiap cerita
selalu saya akhiri dengan pesan moral yang dapat dipetik. Tentu saja,
lama-kelamaan saya kehabisan cerita sehingga saya mulai mengarang cerita
sendiri. Biasanya cerita saya kait dengan kejadian sehari-hari. Misalnya,
anak-anak kecil paling malas kalau disuruh belajar, bukan? Jadi, saya mulai
bercerita tentang seorang Putri Raja yang malas belajar sehingga tidak disukai
banyak orang. Biasanya Lisa langsung protes, “Mama nyindir aku, ya?” Trus
langsung saya jawab, “Kog Lisa yang tersinggung? Memang hari ini Lisa malas
belajar, ya? Ya udah, mama ganti cerita yang lain saja.” Tentu saja Lisa tidak
mau jika cerita tersebut saya ganti karena dia pasti ingin tahu apa yang
terjadi dengan Putri Raja tersebut di akhir cerita. Secara tidak langsung,
bercerita bisa menumbuhkan rasa penasaran / rasa ingin tahu dalam diri anak.
Setuju?
Kemudian, cerita saya teruskan… Karena malas, suatu hari
Putri Raja tersebut kena batunya. Akhirnya, dia pun sadar dan mulai berubah
menjadi rajin. “Jadi Lisa, dalam hidup ini, kita harus punya tujuan. Kalau
malas, jelas tidak ada tujuannya karena tidak perlu berbuat apa-apa, hanya
duduk atau tidur saja. Sedangkan, kalau mau rajin dan supaya sikap tersebut
bisa bertahan lama, tanyalah kepada diri sendiri, rajin itu tujuannya apa sih?
Dan, apa untungnya kalau saya rajin?”
Saat ini, karena anak-anak saya sudah besar tentu cerita di atas
sudah lama saya tinggalkan dan saya ganti dengan cerita yang berasal buku-buku
motivasi atau bacaan lain yang saya baca, dan dari hal-hal yang terjadi sehari-hari.
Bagi saya, bercerita sangat membantu dalam menyampaikan sebuah pesan, apalagi
pesan yang bisa meningkatkan motivasi anak. Anda akan takjub bagaimana
anak-anak begitu mudah dan cepat mengerti serta menangkap pesan yang kita
maksud. Dengan bercerita, anak-anak tidak akan merasa dikritik atau dikuliahi.
Akibatnya, pesan yang disampaikan akan mudah meresap dan menetap dalam diri
mereka.
2. Memuji
Saat Eric masih duduk di kelas TK-B, saya membaca sebuah buku
karangan Martin E. P. Seligman, Ph.D. yang berjudul “The Optimistic Child”.
Salah satu teknik yang sangat manjur yang sudah saya terapkan kepada anak-anak
waktu itu adalah ‘Cara Memuji’. Sebelum itu, yang saya tahu adalah jika anak
mendapat nilai bagus, maka pujian yang disampaikan adalah ‘Kamu Hebat, Nak’
atau ‘Kamu Pintar’. Juga, jika anak bersikap baik, maka pujian yang umum adalah
‘Kamu Anak yang Baik’. Ternyata, dari buku tersebut saya belajar bahwa pujian
harus diberikan secara spesifik/khusus. Alasannya, jika anak kita dibilang
pintar, padahal dia tahu kalau dia hanya pintar dalam beberapa pelajaran saja
sedangkan dalam pelajaran lainnya nilainya hanya pas-pasan, maka dia akan
menganggap orangtuanya tidak berkata jujur atau apa adanya.
Sebagai contoh, ketika anak mendapat nilai bagus untuk pelajaran
matematika, maka katakanlah, “Kamu pintar dalam pelajaran Matematika, ya Nak.”
Atau ketika anak bersikap sopan kepada tamu yang datang, maka katakan, “Mama
senang sekali karena kamu tadi bersikap sopan kepada teman mama.” Ketika kita
memuji kepandaian atau kebaikan anak secara spesifik, maka akan tumbuh rasa
optimis dalam diri anak. Jika anak menjadi optimis, otomatis motivasi diri akan
tertanam dengan mudah. Jadi, sebuah pujian yang spesifik akan menjadi obat
mujarab untuk menumbuhkan motivasi belajar dalam diri anak.
3. Target
Satu hal yang selalu saya tanamkan kepada anak-anak adalah buatlah
target (nilai) yang akan dicapai. Ketika anak-anak sadar akan target tersebut,
maka orangtua pun akan mudah dalam membimbing atau mengarahkan mereka
dalam membuat rencana belajar agar target bisa tercapai. Saya masih ingat,
waktu masih anak-anak masih duduk di Sekolah Dasar, target minimum untuk nilai
rata-rata rapor yang menjadi target Eric adalah 7.5, sedangkan Lisa adalah 6.5.
Dengan target dan rencana yang ada di tangan, biasanya hasil yang
diraih selalu melebihi target. Bukan itu saja, prestasi belajar juga akan
stabil karena anak-anak sudah terbiasa disiplin dan bekerja untuk mencapai
target yang telah ditentukan sendiri. Seandainya, jika target tidak tercapai,
orangtua tidak perlu marah. Mari bersama-sama dengan mereka, kita lakukan
evaluasi. Apa yang membuat target tidak tercapai dan langkah-langkah apa yang
akan diambil agar target untuk semester berikutnya bisa tercapai.
Sebenarnya, dari pengalaman saya bersama para orangtua yang datang
atau telepon untuk berkonsultasi, cara-cara diatas bukanlah sesuatu yang susah
untuk diterapkan. Masalahnya, banyak orangtua tidak cukup konsisten dan sering
buyar (tidak fokus) karena berharap semuanya bisa dengan cara cepat/instan.
Jadi, jika anda ingin berhasil menumbuhkan motivasi belajar dalam diri anak,
hanya ada dua hal yang harus diingat: FOKUS dan KONSISTESI.
PENTINGNYA
PERHATIAN ORANG TUA
Perhatian
orang tua sangat di butuhkan untuk membuat anak semangat untuk belajar karena
anak biasanya sering sekali mencontoh dari yang dilihat dan yang sering di
dengar.maka dari itu orang tua harus bisa berbuat yng bijaksana dan perhatiaan
sama anak,Dan orang tua harus bisa bersahabat sama anak biar mudah untuk
memantau kondisi anak ,dengan cara menjadi teman dekat anak biasanya anak merasa
nyaman dan asik .terus tidak lupa orang tua juga harus teliti untuk memberi
fasilitas yang berguna buat anak dan untuk belajar,jangn memberikan fasilatas
apa yang bisa membuat bahaya anak dan belajarnya,orang tua juga harus bisa
sabar menanggapi suatu perbuatan anak yang bandel,tidak boleh terlalu menekan
anak,karena dengan di tekan anaknya maka si anak akan tambah menjadi
kenakalannya,orang tua harus memberi kebebasan buat anak biar bisa menentukan
yang baik dan yang buruk,orang tua bisa meningatakan aja jika yang dilakukan salah.dan
jangan lupa orang tua bisa diajak pergi ketempat-tempat yang bisa mendidik
anak,contohnya musium,dan kebun binatang,orang tua juga berkewajiban untuk
mengajarkan agama memurut keyakinan,biar bisa menjadi anak yang budipekerti
yang baik.
Orang
tua harus bisa memberi perhatian yang lebih buat si anak,untuk mendapatkaan
hasil yang bagus untuk si anak,orang tua jangan cuman memikirkan harta semata
dan jangan memberikan tangung jawabnya pengurusin anak dengan pembantu,karena
biasanya kalau di didik si pembantu sianak akan merasa tidak pernah di
perhatikan sama orang tuanya.pokoknya jangan lupa perhatikan si anak dengan
khusus dan dengan rasa kasih sayang.
Perhatian orang tua ternyata memiliki
pengaruh besar terhadap pencapaian prestasi belajar anak atau siswa di
sekolahnya. Hal ini setidaknya pernah di buktikan oleh hasil penelitian di
Amerika yang telah dilakukan oleh banyak pihak. Dan berikut ringkasan dari
hasil-hasil penelitian tersebut yang dikutip dari berbagai sumber.
Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Wendy S. Grolnick dan
rekan-rekan, dalam artikelnya yang dipublikasikan pada tahun 1994 dan
1997, mereka menyampaikan 3 konsep bentuk perhatian orang tua berdasarkan pada
bagaimana interaksi orang tua-anak.
Pertama, perhatian dalam bentuk keterlibatan perilaku orang tua, yang
mengacu pada sikap dan tindakan orangtua yang mewakili kepentingan publik dalam
pendidikan anak mereka, seperti menghadiri open house atau kegiatan sukarela di
sekolah.
Kedua, perhatian dalam bentuk keterlibatan pribadi, yang mencakup cara
interaksi orangtua-anak melalui komunikasi positif tentang pentingnya sekolah
dan pendidikan untuk anak-anak mereka.
Dan ketiga, perhatian dalam bentuk keterlibat kognitif atau intelektual,
yang mengacu pada perilaku yang mendukung pengembangan keterampilan dan
pengetahuan anak-anak, seperti membaca buku dan pergi ke museum.
Menurut teori ini, perhatian orang tua dalam ketiga keterlibatan itu akan
mempengaruhi prestasi siswa karena adanya interaksi yang akan mempengaruhi
motivasi, rasa kompetensi, dan keyakinan anak bahwa mereka memiliki kontrol
atas keberhasilan mereka di sekolah.
Sementara itu, Kathleen V. Hoover-Dempsey dan Howard M. Sandler, dalam
artikel yang dipublikasikan pada tahun 1995 dan 1997, menyampaikan bahwa perhatian
orang tua mencakup bentuk keterlibatan secara luas baik dalam kegiatan anak di
rumah (seperti, membantu menyelesaikan pekerjaan rumah, membahas kegiatan
sekolah atau kursus) dan aktivitas yang berbasis sekolah (misalnya menjadi
relawan di sekolah, datang pada acara/undangan sekolah).
Mereka berpendapat bahwa perhatian orang tua merupakan fungsi orang tua
dalam mengaktualisasikan peran dan tanggung jawabnya, keyakinan orang tua bahwa
ia dapat membantu anak-anaknya untuk berhasil di sekolah, dan keterlibatan pada
setiap kesempatan yang disediakan oleh sekolah atau guru.
Menurut teori ini, perhatian orang tua akan berpengaruh terhadapa
anak-anaknya melalui akuisisi pengetahuan, keterampilan, dan peningkatan rasa
percaya diri dan keyakinan anak-anak bahwa mereka akan berhasil di sekolah.
Kemudian Joyce L. Epstein, dalam sebuah
terbitan artikel tahun 1995 dan bukunya yang diterbitkan tahun 2001 yang
berjudul School, Family, and Community Partnerships, berpendapat
bahwa sekolah, keluarga, dan masyarakat adalah faktor penting sebagai
“lingkungan pengaruh” pada perkembangan anak, dan bahwa perkembangan pendidikan
anak akan meningkat manakala tiga lingkungan itu bekerja sama menuju suatu
tujuan bersama.
Epstein mendorong sekolah untuk menciptakan “tumpang tindih” yang lebih
besar antara sekolah, rumah, dan masyarakat melalui pelaksanaan kegiatan pada
enam jenis keterlibatan : orangtua, komunikasi, relawan, belajar di rumah,
pengambilan keputusan, dan kolaborasi dengan masyarakat. Dengan menerapkan
kegiatan di keenam jenis keterlibatan itu, pendidik dapat membantu meningkatkan
prestasi dan penglaman siswa di sekolah.
Menurut pendapat ini, perhatian orang tua dalam bentuk keterlibatannya
terhadap kegiatan pendidikan anaknya di sekolah salah satunya bisa dilihat dari
karakteristik keluarga. Keluarga pekerja dan keluarga yang melibatkan seorang
ibu bekerja penuh waktu, cenderung kurang memiliki perhatian semestinya
terhadap pendidikan anak-anak mereka. Termasuk juga, orang tua siswa sekolah
dasar cenderung lebih terlibat dalam pendidikan anak-anak mereka daripada orang
tua pada siswa yang lebih tua.
Dari hasil penelitian yang disampaikan oleh ketiga orang tersebut di atas,
walaupun itu bukan di Indonesia, akan tetapi setidaknya bisa menjadi salah satu
acuan dan dasar bagi para orang tua, bahwa bentuk perhatian orang tua terhadap
pendidikan anak dan pencapaian prestasi anak di sekolah adalah sangat besar,
dimana perhatian yang dimaksud tidak hanya terbatas pada penyediaan sarana dan
fasilitas pendidikan yang diperlukan anak semata, melainkan keterlibatan
langsung orang tua di dalam prosesnya. Semoga bermanfaat dan menjadikan anda
orang tua yang lebih peduli lagi terhadap proses pendidikan putra-putri anda di
sekolah.
Menumbuhkan
Motivasi Belajar dalam Diri Anak
Bagi para orang tua motivasi belajar anak
merupakan masalah , semua kita juga ingin mengetahui bagaimana motivasi
ini bisa muncul . Kadang saya membandingkan motivasi belajar saya dulu sewaktu
kecil dengan motivasi belajar anak. Tapi ini tidak bijak ya karena jamannnya
beda, dulu acara TV terbatas hanya waktu malam saja , belum ada game ,
perangkat gadget, internet.
Saat berbicara di hadapan orangtua, masalah
motivasi dalam belajar adalah yang paling banyak ditanyakan. Rendahnya kemauan
belajar pada sebagian besar pelajar saat ini telah membuat banyak orangtua
menjadi cemas dan khawatir.
Sebenarnya motivasi itu apa sih?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, MOTIVASI adalah dorongan yang menyebabkan
seseorang mau melakukan sesuatu untuk mencapai sebuah tujuan. Dengan kata lain,
motivasi belajar baru akan tertanam jika anak-anak mengerti bahwa mereka
belajar untuk sebuah alasan atau tujuan. Masalahnya, alasan atau tujuan yang
akan kita sampaikan juga harus benar. Karena jika salah arah, motivasi belajar
tidak akan bertahan lama sehingga cepat pudar dan luntur.
Berdasarkan pengalaman dan hasil observasi di lapangan, banyak
orangtua yang memaksa anaknya belajar agar mendapatkan nilai bagus saat
menghadapi ulangan. Ada juga orangtua yang hanya ingin anaknya selalu mendapat
nilai sempurna (10) sehingga ketika pulang membawa nilai 9 saja sudah dimarahi.
Akibatnya, prestasi belajar anak tidak akan bertahan lama. Mengapa? Karena saat
masih kecil, anak sangat membutuhkan rasa aman. Dan, hal ini hanya akan timbul
jika anak mendapatkan cinta kasih yang tulus dan tanpa pamrih dari orangtuanya.
Bayangkan, apa yang akan terjadi jika anak dimarahi karena tidak
bisa memenuhi standar yang ditetapkan oleh orangtuanya? Perlahan tapi pasti
motivasi yang sudah ada akan mulai terkikis. Anak akan kehilangan rasa aman
karena merasa tidak mungkin dapat menyenangkan hati orangtuanya jika tidak
mendapat nilai bagus di sekolah. Saat rasa aman hilang, dorongan untuk
berprestasi pun mulai mendapat tekanan berat. Akhirnya, saat tingkatan kelas
semakin tinggi dan pelajaran menjadi lebih berat dan sulit, anak sudah
kehilangan gairah belajar. Jadi, segala sesuatu yang dipaksakan tidak akan
pernah bertahan lama.
Hal lain yang penting kita tanamkan dalam diri anak adalah
mengenai proses belajar. Belajar adalah sebuah usaha untuk mendapatkan
kepandaian atau ilmu. Karenanya, perlu dilakukan terus-menerus agar anak tumbuh
menjadi pembelajar seumur hidup atau life-long learner. Jangan
sampai anak berpikir bahwa aktivitas belajar hanya dilakukan saat masih duduk
di bangku sekolah saja. Sehingga, ketika sekolah selesai, proses belajar juga
usai.
Kini, bagaimana kita bisa menumbuhkan motivasi dalam diri anak
agar mau belajar untuk dirinya sendiri? Ada tiga hal utama yang harus terpatri
dulu dalam pikiran dan penalaran kita sebelum masuk pada cara atau teknik
memotivasi anak.
1. Berani Menjadi
Diri Sendiri
I do not try to dance better than
anyone else. I only try to dance better than myself. ~ Mikhail Baryshnikov
Langkah pertama, kita harus meyakinkan setiap anak bahwa mereka
itu unik. Artinya, tidak ada yang persis sama di dunia ini bahkan saudara
kembar sekalipun. Jadi, anak harus mengenal dirinya sendiri dulu. Tahu kelebihan
dan kekurangan masing-masing. Cara belajar setiap anak juga berbeda. Sehingga,
orangtua memegang peranan penting dalam menyampaikan pesan ini kepada anak.
Jika anak tahu bahwa mereka tidak dibandingkan dengan orang lain,
maka tidak ada beban psikologis saat diminta untuk berprestasi. Konsekuensinya,
anak akan lebih leluasa menggali dan mengembangkan semua potensi yang ada dalam
diri. Selanjutnya, tanamkan dalam diri anak bahwa mereka mampu dan memiliki
kesempatan untuk terus menjadi lebih baik lagi dari hari ini, asal saja mereka
mau. Jika ada kemauan, pasti ada jalan. Artinya, perbaikan atau peningkatan
yang berkesinambungan perlu dilakukan agar anak bisa mencapai prestasi maksimal
sesuai dengan kemampuan yang ada.
2. Berani Bermimpi
Shoot for the moon. Even if you
miss, you’ll land among the stars. ~ Brian Littrell
Saat anak masih kecil, pernahkan kita bertanya seandainya sudah
besar nanti mau jadi apa. Semakin tinggi cita-cita, semakin kita punya senjata
untuk mendorong mereka. Karena, untuk mencapai impian dibutuhkan usaha dan
kerja keras. Sebagai contoh, jika cita-cita seorang anak adalah ingin menjadi
pilot atau dokter, kita bisa mulai menanamkan hal positif dalam diri mereka.
Tanyakan kepada mereka, “Jika hendak menjadi pilot atau dokter, perlu tidak
mendapat nilai bagus dalam pelajaran Matematika/Biologi/Fisika? Untuk mendapat
nilai bagus, perlu tidak belajar dengan giat dan rajin?” Kunci utamanya adalah
tetapkan impian setinggi mungkin kemudian beri dorongan positif untuk meraih
cita-cita tersebut. Di sini, orangtua harus pandai dan cermat dalam menggali
dan mengarahkan anak dengan pertanyaan-pertanyaan yang membangun.
Bandingkan, jika orangtua beraksi negatif saat mendengar anaknya
kelak ingin menjadi dokter. “Apa, mau jadi dokter? Nilai matematika
kamu saja jeblok, mana mungkin bisa jadi dokter. Jangan pernah bermimpilah!” Bisa kita bayangkan apa yang
akan terjadi jika orangtua terus-menerus menghilangkan harga diri anaknya.
Kepercayaan diri anak tidak akan tumbuh jika sering dicemooh, apalagi oleh
orang yang paling dekat dengannya. Orangtua harus yakin dan percaya bahwa
anaknya bisa. Sebab, biasanya kata-kata orangtua sangat berpengaruh dan bisa
berperan sebagai racun atau obat yang mujarab. Jadi, berhati-hatilah dengan
kata-kata yang akan kita ucapkan sehingga mulailah memupuk pikiran yang positif
dalam diri kita.
Sebagai contoh, waktu putra saya, Eric masih duduk di kelas V SD,
beberapa teman memperingatkan saya bahwa jika anak sudah duduk di bangku SMP,
maka orangtua harus mencarikan guru les pelajaran untuk mereka. Alasannya, kita
sudah tidak bisa lagi mengajarkan pelajaran SMP sehingga anak yang pintar
sekalipun juga banyak yang les.
Saya hanya mengangguk walaupun dalam hati bertanya-tanya, “Apa iya?” Kemudian, saya mencoba untuk melihat ke
belakang. Dulu orangtua saya tidak pernah repot mengurusi saya belajar dan
semuanya oke saja, tuh! Jadi kalau dulu saya bisa belajar sendiri, maka
anak-anak juga harus bisa. Saya lebih suka jika anak memiliki kemampuan belajar
sendiri dan bisa mencari solusi jika menemui masalah. Jadi, bagi saya, les
pelajaran adalah pilihan terakhir jika seorang anak memang tidak mampu
mengikuti pelajaran yang diberikan di sekolah.
Sejak hari itu, saya bertekad dan mulai fokus mengarahkan
anak-anak agar bisa mengembangkan self-learning ability atau kemampuan belajar sendiri.
Benar! Kedua anak saya tidak pernah ikut les pelajaran. Bahkan, sejak mereka
duduk di kelas 1 SMP, saya sudah tidak perlu lagi membimbing dan mengarahkan
mereka belajar.
3. Berani Gagal
Success is not final, failure is
not fatal. It is the courage to continue that counts. ~ Winston Churchill
Sering kali kita memaksa anak belajar karena takut mereka mendapat
nilai jelek. Sehingga, secara tidak langsung, yang kita tanamkan dalam diri
anak adalah “Awas! Jangan pernah gagal, ya!” Padahal, kegagalan itu sangat
berguna dan memang dibutuhkan sebagai cambuk untuk maju. Percayalah, kegagalan
akan membuat anak kita menjadi lebih kuat dan tahan banting. Tentu saja, saya
tidak bermaksud agar anak-anak dibiarkan sampai tidak naik kelas. Orangtua
harus punya perhitungan yang matang. Kalau terus mendapat nilai jelek juga
tidak benar.
Sebagai contoh, ketika masih duduk di IV SD, putri saya, Lisa
pernah mendapat nilai 2 untuk ulangan matematika. Walaupun gundah, saya tetap
berusaha untuk tenang. Saat terpuruk, yang dibutuhkan anak adalah dukungan
orangtuanya, bukan omelan yang terus-menerus. Kemudian, kami mengevaluasi apa
yang menjadi akar masalah. Waktu itu, Lisa memang lemah di pelajaran
Matematika. Jadi, saat nilai ulangan berikutnya naik menjadi 4, dengan senang
hati saya langsung memuji usaha dan kemajuan yang telah dicapai. Ajaib!
Setelahnya, Lisa tidak pernah lagi mendapatkan angka mati untuk ulangan
Matematika. Paling rendah hanya 5 dan itupun hanya sesekali saja.
Menjadi orangtua zaman sekarang tidak bisa lagi dengan hanya
memakai cara-cara lama yang kita dapatkan secara turun-temurun dari orangtua
atau generasi diatas kita. Menjadi orangtua zaman sekarang jauh lebih sulit dan
rumit. Kemajuan zaman dan kecanggihan teknologi di satu sisi memang telah
membuat hidup kita menjadi lebih nyaman dan praktis. Tetapi, dampak negatifnya
juga tidak tanggung-tanggung. Misalnya, anak-anak sekarang lebih suka bermain game di depan komputer daripada membaca
atau bercengkerama bersama keluarga. Sehingga, orangtua sekarang harus lebih
kreatif dan terus mengasah otak agar peka terhadap perkembangan zaman. Jika hal
ini kita lakukan, maka tugas sebagai orangtua pasti akan menjadi lebih mudah
dan ringan.
Ketika anak ‘berkuasa’ atas dirinya sendiri, sadar bahwa dia boleh
memiliki cita-cita setinggi langit, dan tidak menyerah di saat kegagalan datang
menyapa, maka tugas orangtua sebagai mesin pendorong bagi anak akan jauh lebih
mudah.
Ada beberapa teknik yang cukup berhasil saya terapkan kepada Eric
dan Lisa (anak-anak saya) ketika mereka masih kecil, antara lain:
1. Bercerita
Saya sengaja mengajak mereka tidur lebih awal supaya punya waktu
untuk mendongeng atau bercerita sekitar 5-10 menit bagi mereka. Setiap cerita
selalu saya akhiri dengan pesan moral yang dapat dipetik. Tentu saja,
lama-kelamaan saya kehabisan cerita sehingga saya mulai mengarang cerita
sendiri. Biasanya cerita saya kait dengan kejadian sehari-hari. Misalnya,
anak-anak kecil paling malas kalau disuruh belajar, bukan? Jadi, saya mulai
bercerita tentang seorang Putri Raja yang malas belajar sehingga tidak disukai
banyak orang. Biasanya Lisa langsung protes, “Mama nyindir aku, ya?” Trus
langsung saya jawab, “Kog Lisa yang tersinggung? Memang hari ini Lisa malas
belajar, ya? Ya udah, mama ganti cerita yang lain saja.” Tentu saja Lisa tidak
mau jika cerita tersebut saya ganti karena dia pasti ingin tahu apa yang
terjadi dengan Putri Raja tersebut di akhir cerita. Secara tidak langsung,
bercerita bisa menumbuhkan rasa penasaran / rasa ingin tahu dalam diri anak.
Setuju?
Kemudian, cerita saya teruskan… Karena malas, suatu hari
Putri Raja tersebut kena batunya. Akhirnya, dia pun sadar dan mulai berubah
menjadi rajin. “Jadi Lisa, dalam hidup ini, kita harus punya tujuan. Kalau
malas, jelas tidak ada tujuannya karena tidak perlu berbuat apa-apa, hanya
duduk atau tidur saja. Sedangkan, kalau mau rajin dan supaya sikap tersebut
bisa bertahan lama, tanyalah kepada diri sendiri, rajin itu tujuannya apa sih?
Dan, apa untungnya kalau saya rajin?”
Saat ini, karena anak-anak saya sudah besar tentu cerita di atas
sudah lama saya tinggalkan dan saya ganti dengan cerita yang berasal buku-buku
motivasi atau bacaan lain yang saya baca, dan dari hal-hal yang terjadi sehari-hari.
Bagi saya, bercerita sangat membantu dalam menyampaikan sebuah pesan, apalagi
pesan yang bisa meningkatkan motivasi anak. Anda akan takjub bagaimana
anak-anak begitu mudah dan cepat mengerti serta menangkap pesan yang kita
maksud. Dengan bercerita, anak-anak tidak akan merasa dikritik atau dikuliahi.
Akibatnya, pesan yang disampaikan akan mudah meresap dan menetap dalam diri
mereka.
2. Memuji
Saat Eric masih duduk di kelas TK-B, saya membaca sebuah buku
karangan Martin E. P. Seligman, Ph.D. yang berjudul “The Optimistic Child”.
Salah satu teknik yang sangat manjur yang sudah saya terapkan kepada anak-anak
waktu itu adalah ‘Cara Memuji’. Sebelum itu, yang saya tahu adalah jika anak
mendapat nilai bagus, maka pujian yang disampaikan adalah ‘Kamu Hebat, Nak’
atau ‘Kamu Pintar’. Juga, jika anak bersikap baik, maka pujian yang umum adalah
‘Kamu Anak yang Baik’. Ternyata, dari buku tersebut saya belajar bahwa pujian
harus diberikan secara spesifik/khusus. Alasannya, jika anak kita dibilang
pintar, padahal dia tahu kalau dia hanya pintar dalam beberapa pelajaran saja
sedangkan dalam pelajaran lainnya nilainya hanya pas-pasan, maka dia akan
menganggap orangtuanya tidak berkata jujur atau apa adanya.
Sebagai contoh, ketika anak mendapat nilai bagus untuk pelajaran
matematika, maka katakanlah, “Kamu pintar dalam pelajaran Matematika, ya Nak.”
Atau ketika anak bersikap sopan kepada tamu yang datang, maka katakan, “Mama
senang sekali karena kamu tadi bersikap sopan kepada teman mama.” Ketika kita
memuji kepandaian atau kebaikan anak secara spesifik, maka akan tumbuh rasa
optimis dalam diri anak. Jika anak menjadi optimis, otomatis motivasi diri akan
tertanam dengan mudah. Jadi, sebuah pujian yang spesifik akan menjadi obat
mujarab untuk menumbuhkan motivasi belajar dalam diri anak.
3. Target
Satu hal yang selalu saya tanamkan kepada anak-anak adalah buatlah
target (nilai) yang akan dicapai. Ketika anak-anak sadar akan target tersebut,
maka orangtua pun akan mudah dalam membimbing atau mengarahkan mereka
dalam membuat rencana belajar agar target bisa tercapai. Saya masih ingat,
waktu masih anak-anak masih duduk di Sekolah Dasar, target minimum untuk nilai
rata-rata rapor yang menjadi target Eric adalah 7.5, sedangkan Lisa adalah 6.5.
Dengan target dan rencana yang ada di tangan, biasanya hasil yang
diraih selalu melebihi target. Bukan itu saja, prestasi belajar juga akan
stabil karena anak-anak sudah terbiasa disiplin dan bekerja untuk mencapai
target yang telah ditentukan sendiri. Seandainya, jika target tidak tercapai,
orangtua tidak perlu marah. Mari bersama-sama dengan mereka, kita lakukan
evaluasi. Apa yang membuat target tidak tercapai dan langkah-langkah apa yang
akan diambil agar target untuk semester berikutnya bisa tercapai.
Sebenarnya, dari pengalaman saya bersama para orangtua yang datang
atau telepon untuk berkonsultasi, cara-cara diatas bukanlah sesuatu yang susah
untuk diterapkan. Masalahnya, banyak orangtua tidak cukup konsisten dan sering
buyar (tidak fokus) karena berharap semuanya bisa dengan cara cepat/instan.
Jadi, jika anda ingin berhasil menumbuhkan motivasi belajar dalam diri anak,
hanya ada dua hal yang harus diingat: FOKUS dan KONSISTESI.
PENTINGNYA
PERHATIAN ORANG TUA
Perhatian
orang tua sangat di butuhkan untuk membuat anak semangat untuk belajar karena
anak biasanya sering sekali mencontoh dari yang dilihat dan yang sering di
dengar.maka dari itu orang tua harus bisa berbuat yng bijaksana dan perhatiaan
sama anak,Dan orang tua harus bisa bersahabat sama anak biar mudah untuk
memantau kondisi anak ,dengan cara menjadi teman dekat anak biasanya anak merasa
nyaman dan asik .terus tidak lupa orang tua juga harus teliti untuk memberi
fasilitas yang berguna buat anak dan untuk belajar,jangn memberikan fasilatas
apa yang bisa membuat bahaya anak dan belajarnya,orang tua juga harus bisa
sabar menanggapi suatu perbuatan anak yang bandel,tidak boleh terlalu menekan
anak,karena dengan di tekan anaknya maka si anak akan tambah menjadi
kenakalannya,orang tua harus memberi kebebasan buat anak biar bisa menentukan
yang baik dan yang buruk,orang tua bisa meningatakan aja jika yang dilakukan salah.dan
jangan lupa orang tua bisa diajak pergi ketempat-tempat yang bisa mendidik
anak,contohnya musium,dan kebun binatang,orang tua juga berkewajiban untuk
mengajarkan agama memurut keyakinan,biar bisa menjadi anak yang budipekerti
yang baik.
Orang
tua harus bisa memberi perhatian yang lebih buat si anak,untuk mendapatkaan
hasil yang bagus untuk si anak,orang tua jangan cuman memikirkan harta semata
dan jangan memberikan tangung jawabnya pengurusin anak dengan pembantu,karena
biasanya kalau di didik si pembantu sianak akan merasa tidak pernah di
perhatikan sama orang tuanya.pokoknya jangan lupa perhatikan si anak dengan
khusus dan dengan rasa kasih sayang.